Tuesday, November 2, 2010

ULAMA JAHAT


Banyak pertanyaan menguasai benak masyarakat mengenai apa dan siapa itu ulama? Benarkah ada ulama jahat dalam Islam.

Ibn Abi Hatim menuturkan dari jalan Sufyan ats-Tsauri, dari Abu Hayan at-Taymi, bahawa ulama itu juga ada tiga golongan. 

Pertama: orang yang takut kepada Allah dan mengetahui hukum-hukum-Nya. Itulah orang alim yang sempurna. Kedua: orang yang takut kepada Allah tetapi tidak mengetahui hukum-hukum-Nya.. Ketiga: orang yang mengetahui hukum-hukum Allah, tetapi tidak takut kepada-Nya; dialah orang alim yang jahat
(al-’âlim al-fâjir).

Pada ulama sû’ atau fâjir, ilmu yang dimiliki tidak dijadikan penuntun. Ia tidak beramal sesuai dengan ilmu yang ia ketahui. Asy-Syathibi mengatakan, “Ulama sû’ adalah ulama yang tidak beramal sesuai dengan apa yang ia ketahui.”  IbnTaimiyah, setelah mengutip QS al-A‘raf ayat 146, berkata, “Inilah kondisi orang yang tidak beramal sesuai dengan ilmunya, tetapi mengikuti hawa nafsunya. Itulah kesesatan, sebagaimana firman Allah dalam QS al-A‘raf ayat 175-176; ini seperti ulama sû’.”Di antara ulama sû’ itu adalah ulama salathîn, yaitu ulama yang menjadi rubber stamp penguasa.

Kebinasaan bagi umatku (datang) dari ulama sû’; mereka menjadikan ilmu sebagai barang dagangan yang mereka jual kepada para penguasa masa mereka untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri. Allah tidak akan memberikan keuntungan dalam perniagaan mereka itu. (HR al-Hakim).

Menurut adz-Dzhabi, ulama sû’ adalah ulama yang mempercantik kezaliman dan ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa; ulama yang memutarbalikan kebatilan menjadi kebenaran untuk penguasa; atau ulama yang diam saja (di hadapan penguasa) padahal ia mampu menjelaskan kebenaran. 

Ulama adalah kepercayaan para rasul selama mereka tidak bergaul dengan penguasa dan tidak asyik dengan dunia. Jika mereka bergaul dengan penguasa dan asyik dengan dunia maka mereka telah mengkhianati para rasul. Kerana itu, jauhilah mereka. (HR al-Hakim).

Hal itu kerana, jika ulama bergaul dengan penguasa dan sering mendatanginya, yang diharapkan adalah dunia. Tentu yang dimaksud bukan ulama yang datang untuk beramal makruf nahi mungkar dan mengoreksi penguasa.

Rosaknya ulama di antaranya karena sifat tamak terhadap dunia. Ad-Darimi menuturkan, Umar bertanya kepada Kaab, “Apa yang mengeluarkan ilmu dari hati ulama?” Kaab menjawab, “Ketamakan.”

Maksudnya adalah ulama yang menjadikan ilmunya sebagai alat untuk memperoleh kekayaan. As-Sayrazi mengatakan, “Setan mendandani keburukan di hadapan ulama hingga berhasil menjerumuskan mereka dalam kemurkaan Allah. Mereka lalu memakan dunia dengan memanfaatkan agama, memperalat ilmu untuk mendapatkan kekayaan dari para penguasa, serta memakan harta wakaf, anak yatim dan orang miskin. Setan telah berhasil memalingkan perhatian ulama itu untuk mencari gengsi dan kedudukan di hati makhluk. Itulah yang menyeret mereka ke dalam perdebatan, persaingan dan
kebanggaan.”

Al-Minawi, dalam Faydh al-Qadîr, mengatakan, “Bencana bagi umatku (datang) dari ulama sû’, yaitu ulama yang dengan ilmunya bertujuan mencari kenikmatan dunia, meraih gengsi dan kedudukan. Setiap orang dari mereka adalah tawanan setan. Ia telah dibinasakan oleh hawa nafsunya dan dikuasai oleh kesengsaraannya. Siapa saja yang kondisinya demikian, maka bahayanya terhadap umat datang dari beberapa sisi. Dari sisi umat; mereka mengikuti ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatannya. Ia memperindah penguasa yang menzalimi manusia dan gampang mengeluarkan fatwa untuk penguasa. Pena dan lisannya mengeluarkan kebohongan dan kedustaan. Kerana sombong, ia mengatakan sesuatu yang tidak ia ketahui.” 

Muadz bin Jabal membagi ulama sû’ di dalam tujuh tingkatan neraka. Tingkatpertama: ulama yang jika mengingatkan manusia, ia bersikap kasar; jika diingatkan manusia, ia menolak dengan tinggi hati. Tingkat kedua: ulama yang menjadikan ilmunya alat untuk mendapatkan pemberian penguasa. Tingkat ketiga: ulama yang menahan ilmunya (tidak menyampaikannya). Tingkat keempat: ulama yang memilih-milih pembicaraan dan ilmu guna menarik wajah orang-orang dan ia tidak memandang orang-orang yang memiliki kedudukan rendah. Tingkat kelima: ulama yang mempelajari berbagai perkataan dan pembicaraan orang Nasrani dan Yahudi guna memperbanyak pembicaraannya. Tingkat keenam: ulama yang mengangkat dirinya sendiri seorang mufti dan ia berkata kepada orang-orang, “Bertanyalah kepadaku.” Orang itu ditulis di sisi Allah sebagai orang yang berpura-pura atau memaksakan diri dan Allah tidak menyukai orang demikian. Tingkat ketujuh: ulama yang menjadikan ilmunya sebagai kebanggaan dan kepuasan intelektual saja.

Kerana semua itu, al-Ghazali mengingatkan, “Hati-hatilah terhadap tipudaya ulama sû’. Sungguh, keburukan mereka bagi agama lebih buruk daripada setan. Sebab, melalui merekalah setan mampu menanggalkan agama dari hati kaum Mukmin. Atas dasar itu, ketika Rasul saw ditanya tentang sejahat-jahat makhluk, Beliau menjawab, “Ya Allah berilah ampunan.” Beliau mengatakannya sebanyak tiga kali, lalu bersabda, “Mereka adalah ulama sû’.”  

Diceritakan, ada seorang pemuda bertanya kepada Abu Qasim al-Hakim. Pemuda itu berkata, "Mengapa nasihat-nasihat para ulama sekarang sudah tidak lagi dipedulikan oleh umatnya. Ini sangat berbeza jauh dengan ulama terdahulu yang fatwa dan nasihatnya senantiasa diikuti dan diperhatikan oleh umat?"
    
Abu Qasim menjawab, "Sesungguhnya ulama terdahulu itu dalam keadaan terjaga atau sadar, sedang umatnya dalam keadaan tidur. Lalu mereka yang terjaga dan sadar mengingatkan yang tertidur. Sedangkan ulama-ulama masa kini keadaannya terbalik, mereka malah tertidur, dan umatnya dalam keadaan mati. Maka bayangkan saja, bagaimana mungkin orang yang sedang asyik tidur dalam mimpinya dapat membangunkan orang yang sudah mati?"
  
Anakku, ketika engkau beragama, maka ruh dan qalbumu harus hidup. Sayang hanya sedikit orang yang mengetahui keadaan qalbunya, apakah dalam keadaan sehat, sakit, mengeras, atau bahkan sudah mati. Jika qalbumu telah mati, maka engkau bagai “mayat berjalan”. Engkau berjalan ke sana ke mari dengan kekosongan ruh dam qalbu. Betapa mengerikan.
    
Hal ini jelas berbeda drastis dengan ulama zaman klasik yang ucapannya bersinar terang dengan cahaya ilahiah. Maka mengertilah engkau mengapa karya-karya ulama klasik begitu agung. Karya-karya mereka adalah karya-karya yang tidak dibuat-buat, dan tidak pula menulis berdasarkan pengetahuan yang tidak melekat, ataupun kebaikan yang belum pernah diperbuat. Tulisannya mengalir dari kebeningan hari, dari kejernihan pikiran. 

Dengan demikian ketulusannya membuat ajarannya mudah membekas. Nasihat-nasihat mereka merupakan cermin dari keluhuran ilmu dan kebersihan ruh dan qalbu yang hidup dan sihat.

0 comments:

Post a Comment

Tuesday, November 2, 2010

ULAMA JAHAT


Banyak pertanyaan menguasai benak masyarakat mengenai apa dan siapa itu ulama? Benarkah ada ulama jahat dalam Islam.

Ibn Abi Hatim menuturkan dari jalan Sufyan ats-Tsauri, dari Abu Hayan at-Taymi, bahawa ulama itu juga ada tiga golongan. 

Pertama: orang yang takut kepada Allah dan mengetahui hukum-hukum-Nya. Itulah orang alim yang sempurna. Kedua: orang yang takut kepada Allah tetapi tidak mengetahui hukum-hukum-Nya.. Ketiga: orang yang mengetahui hukum-hukum Allah, tetapi tidak takut kepada-Nya; dialah orang alim yang jahat
(al-’âlim al-fâjir).

Pada ulama sû’ atau fâjir, ilmu yang dimiliki tidak dijadikan penuntun. Ia tidak beramal sesuai dengan ilmu yang ia ketahui. Asy-Syathibi mengatakan, “Ulama sû’ adalah ulama yang tidak beramal sesuai dengan apa yang ia ketahui.”  IbnTaimiyah, setelah mengutip QS al-A‘raf ayat 146, berkata, “Inilah kondisi orang yang tidak beramal sesuai dengan ilmunya, tetapi mengikuti hawa nafsunya. Itulah kesesatan, sebagaimana firman Allah dalam QS al-A‘raf ayat 175-176; ini seperti ulama sû’.”Di antara ulama sû’ itu adalah ulama salathîn, yaitu ulama yang menjadi rubber stamp penguasa.

Kebinasaan bagi umatku (datang) dari ulama sû’; mereka menjadikan ilmu sebagai barang dagangan yang mereka jual kepada para penguasa masa mereka untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri. Allah tidak akan memberikan keuntungan dalam perniagaan mereka itu. (HR al-Hakim).

Menurut adz-Dzhabi, ulama sû’ adalah ulama yang mempercantik kezaliman dan ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa; ulama yang memutarbalikan kebatilan menjadi kebenaran untuk penguasa; atau ulama yang diam saja (di hadapan penguasa) padahal ia mampu menjelaskan kebenaran. 

Ulama adalah kepercayaan para rasul selama mereka tidak bergaul dengan penguasa dan tidak asyik dengan dunia. Jika mereka bergaul dengan penguasa dan asyik dengan dunia maka mereka telah mengkhianati para rasul. Kerana itu, jauhilah mereka. (HR al-Hakim).

Hal itu kerana, jika ulama bergaul dengan penguasa dan sering mendatanginya, yang diharapkan adalah dunia. Tentu yang dimaksud bukan ulama yang datang untuk beramal makruf nahi mungkar dan mengoreksi penguasa.

Rosaknya ulama di antaranya karena sifat tamak terhadap dunia. Ad-Darimi menuturkan, Umar bertanya kepada Kaab, “Apa yang mengeluarkan ilmu dari hati ulama?” Kaab menjawab, “Ketamakan.”

Maksudnya adalah ulama yang menjadikan ilmunya sebagai alat untuk memperoleh kekayaan. As-Sayrazi mengatakan, “Setan mendandani keburukan di hadapan ulama hingga berhasil menjerumuskan mereka dalam kemurkaan Allah. Mereka lalu memakan dunia dengan memanfaatkan agama, memperalat ilmu untuk mendapatkan kekayaan dari para penguasa, serta memakan harta wakaf, anak yatim dan orang miskin. Setan telah berhasil memalingkan perhatian ulama itu untuk mencari gengsi dan kedudukan di hati makhluk. Itulah yang menyeret mereka ke dalam perdebatan, persaingan dan
kebanggaan.”

Al-Minawi, dalam Faydh al-Qadîr, mengatakan, “Bencana bagi umatku (datang) dari ulama sû’, yaitu ulama yang dengan ilmunya bertujuan mencari kenikmatan dunia, meraih gengsi dan kedudukan. Setiap orang dari mereka adalah tawanan setan. Ia telah dibinasakan oleh hawa nafsunya dan dikuasai oleh kesengsaraannya. Siapa saja yang kondisinya demikian, maka bahayanya terhadap umat datang dari beberapa sisi. Dari sisi umat; mereka mengikuti ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatannya. Ia memperindah penguasa yang menzalimi manusia dan gampang mengeluarkan fatwa untuk penguasa. Pena dan lisannya mengeluarkan kebohongan dan kedustaan. Kerana sombong, ia mengatakan sesuatu yang tidak ia ketahui.” 

Muadz bin Jabal membagi ulama sû’ di dalam tujuh tingkatan neraka. Tingkatpertama: ulama yang jika mengingatkan manusia, ia bersikap kasar; jika diingatkan manusia, ia menolak dengan tinggi hati. Tingkat kedua: ulama yang menjadikan ilmunya alat untuk mendapatkan pemberian penguasa. Tingkat ketiga: ulama yang menahan ilmunya (tidak menyampaikannya). Tingkat keempat: ulama yang memilih-milih pembicaraan dan ilmu guna menarik wajah orang-orang dan ia tidak memandang orang-orang yang memiliki kedudukan rendah. Tingkat kelima: ulama yang mempelajari berbagai perkataan dan pembicaraan orang Nasrani dan Yahudi guna memperbanyak pembicaraannya. Tingkat keenam: ulama yang mengangkat dirinya sendiri seorang mufti dan ia berkata kepada orang-orang, “Bertanyalah kepadaku.” Orang itu ditulis di sisi Allah sebagai orang yang berpura-pura atau memaksakan diri dan Allah tidak menyukai orang demikian. Tingkat ketujuh: ulama yang menjadikan ilmunya sebagai kebanggaan dan kepuasan intelektual saja.

Kerana semua itu, al-Ghazali mengingatkan, “Hati-hatilah terhadap tipudaya ulama sû’. Sungguh, keburukan mereka bagi agama lebih buruk daripada setan. Sebab, melalui merekalah setan mampu menanggalkan agama dari hati kaum Mukmin. Atas dasar itu, ketika Rasul saw ditanya tentang sejahat-jahat makhluk, Beliau menjawab, “Ya Allah berilah ampunan.” Beliau mengatakannya sebanyak tiga kali, lalu bersabda, “Mereka adalah ulama sû’.”  

Diceritakan, ada seorang pemuda bertanya kepada Abu Qasim al-Hakim. Pemuda itu berkata, "Mengapa nasihat-nasihat para ulama sekarang sudah tidak lagi dipedulikan oleh umatnya. Ini sangat berbeza jauh dengan ulama terdahulu yang fatwa dan nasihatnya senantiasa diikuti dan diperhatikan oleh umat?"
    
Abu Qasim menjawab, "Sesungguhnya ulama terdahulu itu dalam keadaan terjaga atau sadar, sedang umatnya dalam keadaan tidur. Lalu mereka yang terjaga dan sadar mengingatkan yang tertidur. Sedangkan ulama-ulama masa kini keadaannya terbalik, mereka malah tertidur, dan umatnya dalam keadaan mati. Maka bayangkan saja, bagaimana mungkin orang yang sedang asyik tidur dalam mimpinya dapat membangunkan orang yang sudah mati?"
  
Anakku, ketika engkau beragama, maka ruh dan qalbumu harus hidup. Sayang hanya sedikit orang yang mengetahui keadaan qalbunya, apakah dalam keadaan sehat, sakit, mengeras, atau bahkan sudah mati. Jika qalbumu telah mati, maka engkau bagai “mayat berjalan”. Engkau berjalan ke sana ke mari dengan kekosongan ruh dam qalbu. Betapa mengerikan.
    
Hal ini jelas berbeda drastis dengan ulama zaman klasik yang ucapannya bersinar terang dengan cahaya ilahiah. Maka mengertilah engkau mengapa karya-karya ulama klasik begitu agung. Karya-karya mereka adalah karya-karya yang tidak dibuat-buat, dan tidak pula menulis berdasarkan pengetahuan yang tidak melekat, ataupun kebaikan yang belum pernah diperbuat. Tulisannya mengalir dari kebeningan hari, dari kejernihan pikiran. 

Dengan demikian ketulusannya membuat ajarannya mudah membekas. Nasihat-nasihat mereka merupakan cermin dari keluhuran ilmu dan kebersihan ruh dan qalbu yang hidup dan sihat.

No comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More